Thursday, January 24, 2013

Kreativitas Menurut Ken Robinson

Kita kerap berpikir bahwa kreativitas adalah milik segelintir manusia yang terlahir dengan bakat luar biasa. Bahwa kreativitas adalah milik mereka dengan profesi tertentu, seperti seniman, penemu, dan penulis fiksi. Tapi, menurut Ken Robinson, ini konsepsi yang keliru tentang kreativitas. Kreativitas adalah daya cipta. Kreativitas hadir ketika kita menggunakan imajinasi untuk membuat sesuatu yang melampaui apa yang dapat dilihat dan dirasakan secara langsung. Kreativitas terjadi ketika kita tidak sekedar meniru atau mengikuti prosedur. Dari kacamata ini, semua orang memiliki potensi atau bakat untuk menjadi kreatif.

Ya, memang para seniman, penulis, dan penemu adalah orang-orang yang kreatif. Tapi kreativitas dapat kita temui di berbagai bidang lain: Seorang guru yang merombak rencana pengajarannya karena ingin menggunakan aplikasi online yang baru ia temukan. Seorang peneliti pasar yang membuat angket untuk menangkap keinginan dan kebutuhan pembaca akan berita. Seorang manajer yang merancang ulang posisi meja kursi kantor untuk membuat karyawannya lebih sering berdiskusi. Seorang montir yang menggunakan alat seadanya untuk menghidupkan mesin motor yang mogok. Orangtua yang kehabisan bahan masakan yang biasa dibuat dan terpaksa menciptakan menu baru untuk makan pagi anaknya. Bagi Robinson, semua ini adalah contoh perwujudan kreativitas.

Sebagai potensi yang dimiliki semua orang, kreativitas punya dua sisi. Yang pertama adalah kemampuan untuk melihat dari sudut yang berbeda, untuk membayangkan yang belum ada, untuk memunculkan gagasan-gagasan segar. Sisi pertama ini yang lebih sering diasosiasikan dengan kreativitas. Sisi ini juga kadang terasosiasi dengan gambaran negatif atau destruktif tentang kreativitas. Kelas yang menekankan kreativitas, misalnya, akan penuh dengan siswa yang mencoret tembok dan merusak properti. Anak yang kreatif cenderung sulit fokus pada pelajaran sekolah dan tidak mau taat pada aturan.

Tapi ini gambaran yang keliru, karena sisi kedua dari kreativitas adalah kemauan untuk fokus pada penciptaan dan perbaikan sebuah karya. Ini proses yang memerlukan pengetahuan serta penalaran kritis untuk mengevaluasi kelebihan dan kelemahan berbagai keputusan yang hendak diambil dalam berkarya. Dalam kata-kata Robinson, “[creativity] is not only about letting go, it’s about holding on” (hal.5).

Dengan kata lain, kreativitas membutuhkan disiplin dan pengetahuan yang mendalam: Seorang pelukis perlu pengetahuan yang tentang bentuk, komposisi, warna, karakter kanvas, cat, dan dan elemen-elemen desain serta alat-alat seni lainnya. Seorang peneliti pasar perlu pengetahuan tentang produk yang hendak dipasarkan serta karakter calon konsumennya. Seorang koki perlu pengetahuan bahan makanan, alat-alat memasak, dan pengaruh proses memasak terhadap rasa dan kenampakan berbagai bahan.

Poin penting dari pandangan ini adalah bahwa kreativitas dapat dibentuk dan dikembangkan. Kita bisa belajar untuk menjadi (lebih) kreatif, untuk mengasah kemampuan berpikir dari sudut yang berbeda, serta memperdalam pengetahuan yang diperlukan untuk menciptakan sesuatu. Tapi ini juga berarti bahwa kreativitas dapat dikerdilkan atau bahkan dimatikan.

Sayangnya, menurut Robinson, kemungkinan kedua inilah yang lebih sering terjadi. Sekolah menuntut lebih sering siswa untuk mengikuti prosedur daripada berpikir mandiri. Soal matematika harus dipecahkan dengan cara yang diajarkan guru. Eksperimen sains harus dilakukan dengan mengikuti langkah yang tertulis di buku. Pelajaran bahasa juga banyak mengajarkan tentang grammar. Sejarah and ilmu sosial disajikan sebagai rangkaian nama, peristiwa dan tanggal yang harus dihafalkan. Untuk semua mata pelajaran, ada tes terstandar yang mengajarkan pada siswa bahwa benar dan salah selalu jelas batasnya, dan batas itu selalu ditentukan oleh guru.

Apakah sekolah bisa dibuat untuk mengembangkan kreativitas? Tentu saja, tapi itu akan menjadi topik tulisan lain :)

Sumber: Robinson, K. (2011). Out of Our Minds: Learning to be Creative (2nd Ed.). Chichester: Capstone Publishing.

Tuesday, January 1, 2013

Hafal Bukan Syarat untuk Memahami

Guru yang baik pasti ingin siswanya memahami materi yang diajarkan. Tapi apa yang dimaksud dengan pemahaman (understanding)? Secara sederhana, pemahaman bisa dikontraskan dengan hafalan atau ingatan. Hafal sebuah informasi berarti bisa menyatakan kembali informasi tersebut dalam konteks yang sempit, biasanya pada saat ujian di sekolah. Dalam taksonomi Bloom, menghafal adalah proses kognitif yang paling rendah. Masalahnya adalah, informasi yang sekedar dihafalkan biasanya ‘mandul’ alias tidak berguna di luar konteks yang sempit.

Mungkin Anda bertanya, apa betul hafalan tidak ada gunanya? Bukankah siswa tetap perlu menghafal informasi tertentu? Bukankah ada informasi-informasi dasar, misalnya definisi konsep-konsep penting, yang perlu dihafalkan oleh siswa? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita simak sebuah penelitian klasik tentang memori yang dilakukan Hermann Ebbinghaus, seorang pelopor psikologi modern, di tahun 1885.

Dalam salah eksperimennya, pak Ebbinghaus berusaha menghafalkan sederetan silabel tak bermakna seperti VIK, HIR, MAW, CEF, LOK, NUG, PIZ, JRU, dan GRE. Pak Ebbinghaus mencatat berapa kali ia harus mengulang deretan tersebut, sebelum ia bisa menuliskannya kembali dengan benar (orang kita bilang, ‘hafal di luar kepala’). Ia juga mengukur ketepatan hafalannya setelah beberapa menit sampai satu bulan setelah ia pertama kali menghafal deretan tersebut.

Ternyata, untuk menghafal secara sempurna enam deret silabel tak bermakna, pak Ebbinghaus perlu mengulangi informasi tersebut sekitar empat ratus kali! Namun demikian, 20 menit kemudian, ternyata ia sudah melupakan lebih dari 40% dari informasi tersebut. Dan setelah 6 hari, yang tersisa dari hafalannya hanya sekitar 25% saja. Salah satu pelajaran yang dapat kita petik dari eksperimen ini adalah bahwa hafalan tanpa makna tidak akan bertahan lama.

Kurva "lupa" Ebbinghaus

Ini hanya sekelumit dari temuan Ebbinghaus. Anda yang tertarik dapat membaca naskah lengkapnya di http://psychclassics.yorku.ca/Ebbinghaus/index.htm (termasuk gambar di atas). Untuk keperluan tulisan ini, saya ingin memberi gambaran yang lebih relevan dengan pelajaran sekolah. Bayangkan dua siswa – si Anton dan si Badu – yang mendapat pertanyaan berikut dalam sebuah ujian:


Pada tahun berapakah peristiwa yang sekarang disebut sebagai “Serangan Umum 1 Maret” terjadi?
    (a) 1938     (b) 1939     (c) 1948     (d) 1949     (e) 1950

Katakanlah si Anton memilih jawaban yang benar (d), sedangkan si Badu memilih jawaban yang salah (c). Ketika diminta menjelaskan pilihan jawaban mereka setelah ujian selesai, si Anton hanya menjawab singkat, “Ya karena saya ingat di buku tertulis tahun 1949.” Jawaban si Badu lebih panjang: “Saya agak lupa tahunnya, tapi sekitar tahun 1948. Serangan Umum kan dilakukan karena Belanda nggak mau mengakui kita merdeka tahun 1945. Jadi jawaban (a) dan (b) pasti salah.”

Dalam contoh ini, meski si Anton memilih jawaban yang benar, si Badu punya pemahaman sejarah yang lebih baik tentang peristiwa Serangan Umum 1 Maret. Si Anton memang hafal informasi yang tepat, namun si Badu memahami keterkaitan Serangan Umum dengan proklamasi kemerdekaan, serta kepentingan Belanda sebagai salah satu aktor dalam peristiwa tersebut. Si Anton tahu alias hafal kapan Serangan Umum terjadi, sedangkan si Badu punya pemahaman awal tentang mengapa peristiwa itu terjadi.

Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa hafalan tidak menjamin pemahaman. Lebih jauh lagi, pemahaman juga tidak selalu mensyaratkan hafalan. Karena itu, sekedar “mengetahui” alias hafal sekumpulan informasi tidak layak dijadikan tujuan pembelajaran di kelas.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...