Saturday, May 19, 2018

Asingnya Dunia Ilmu Pengetahuan: Obrolan Sabtu Pagi

"Why Schools Matter. Ini buku apa, Daddy?" tanya Little A ketika melihat buku yang tergeletak di meja dapur.


Buku yang ia baca judulnya ini adalah salah satu referensi klasik mengenai pengaruh kurikulum terhadap hasil belajar siswa. Terbit tahun 2001 dan ditulis oleh pakar-pakar pendidikan dari Michigan State University (Schmidt dan kawan-kawan), "Why School Matters" didasarkan pada analisis dokumen kurikulum serta hasil tes matematika dan sains pada siswa dari hampir 50 negara.

Merangkumkan isi buku semacam ini untuk siswa kelas 4 bukan hal mudah. Tapi saya juga tidak ingin membuang kesempatan ngobrol tentang buku ini. Karena itulah saya bertanya balik: "What do you think? Menurutmu apa kira-kira isinya?"

"Eemm ... mungkin cerita orang yang waktu kecil malas belajar, dan setelah besar jadi gampang ditipu," tebaknya.  Wah, jawaban yang tidak saya duga. Ia mengira bahwa buku ini semacam novel yang ceritanya menunjukkan bahwa sekolah itu penting. Kalau dipikir lagi, masuk akal kalau ia menduga bahwa ini sebuah novel. Ia belum pernah membaca buku teks. Semua buku yang ia pernah baca adalah fiksi.

Pikiran bahwa sekolah membuat orang "tidak mudah ditipu" ini melegakan: ia masih percaya pada pendidikan. Mungkin jawabannya akan lain kalau ia sudah lebih banyak mengenal perilaku orang-orang yang berpendidikan, hahaha. Yang ini tentu hanya saya batin saja.

"Ini bukan novel, tapi buku teks. Isinya bukan cerita, tapi argumen," saya mulai menjelaskan.

"Argumen? Apa itu?" ia bertanya.

"Argumen itu opini atau pendapat tentang sesuatu. Biasanya, minimal ada dua pendapat tentang sesuatu. Kalau untuk buku ini, kira-kira apa saja pendapat orang tentang apakah sekolah itu penting?" saya tanya lagi.

"Yes and no. Sekolah itu penting atau nggak penting," jawabnya.

"Yup. Di buku ini, para penulisnya punya pendapat kalau sekolah itu penting. Tapi kalau opini saja, itu belum jadi argumen yang lengkap. Kira-kira apa bagian lainnya dari argumen?" saya coba menggali apa yang ia tahu tentang argumen.

"Explanation, kenapa kok sekolah itu penting, kayak biar jadi lebih pintar," serunya.

"Wah, betul banget! Opini harus dilengkapi dengan penjelasan, kenapa kamu mikir seperti itu. Tapi masih ada satu bagian lagi dari argumen, yaitu bukti. Bukti itu sesuatu yang bisa kita lihat. Apa yang sebenarnya terjadi. Kenyataan atau something that actually exists. Kalau di buku ini, apa memang orang yang sekolah itu jadi lebih pintar? Harus ada buktinya," saya coba menjelaskan dengan kerangka positivisme saja biar gampang, hehe.

Supaya tidak terlalu abstrak, saya coba kaitkan dengan pengalamannya sendiri belajar coding di Khan Academy: "Seperti kamu sekarang belajar coding. Kamu jadi lebih pintar apa nggak? Apa buktinya?"

"Iya, aku jadi tahu kode-kode perintah. Aku juga tahu apa itu loop dan if-then. Aku bisa pakai kode-kode itu untuk bikin gambar di komputer!" jawabnya dengan mata berbinar.

"That's great! Di buku ini, bukti yang dipakai berasal dari hasil tes matematika dan sains. Yang dites siswa dari 50 negara lho," saya menerangkan lebih lanjut.

"Lho siswa beneran? Jadi ini buku real life?" ia bertanya lagi. Rupanya ia masih mengira bahwa ini buku fiksi! Dan masuk akal juga. Tokoh dalam novel pun kadang menyampaikan argumen meski (biasanya) tidak berbasis pada bukti empiris.

"Iya, ini buku 'real life'. Yang dites itu siswa beneran. Sebagian malah siswa kelas 4 seperti kamu," saya jawab. Ia mulai tertarik membuka-buka halaman buku tersebut. Tapi ketertarikannya tidak bertahan lama: "Ah, gambarnya sedikit, dan nggak berwarna. Kenapa daddy suka baca buku seperti ini?" Kami pun berbincang sebentar tentang apa asyiknya belajar tentang argumen yang tertulis di buku-buku seperti ini.

Obrolan ini membuat saya bertanya-tanya. Seberapa banyak siswa (dan mahasiswa) yang pernah belajar secara eksplisit tentang argumentasi? Berapa banyak guru yang mengajak siswanya berdiskusi tentang apa itu opini, penjelasan, dan bukti, serta bagaimana kesemuanya membentuk argumen? Tentang apa yang mencirikan sebuah argumen yang ilmiah di bidang-bidang pelajaran yang mereka ajarkan? Sepertinya tidak banyak.

Maka tak heran bahwa "akademia" adalah sebuah dunia yang asing bagi kebanyakan siswa. Membaca teks sebagai sebuah argumen bukanlah aktivitas yang natural, bahkan bagi mereka yang gemar membaca sekalipun. Beruntunglah pagi ini ada kesempatan memperkenalkan sekelumit dunia ini pada si bungsu. Terima kasih, tuan Schmidt dkk., untuk judul buku yang bisa menarik perhatian seorang siswa kelas 4!

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...