Tuesday, November 13, 2018

Pandangan Guru dan Dosen tentang Keterampilan Abad 21

Untuk serial membaca riset pendidikan, kali ini saya berbagi tentang hasil survei mengenai belajar di abad 21 dari perspektif guru. Hasil survei ini dilaporkan oleh Mishra (dari Arizona State University) dan Mehta (dari Michigan State University) dalam sebuah artikel di Journal of Digital Learning in Teacher Education edisi 33(1) tahun 2017. Berikut rangkuman hasil pembacaan saya: 

Apa itu 21st century learning?
Dalam survei mereka, Mishra dan Mehta (2017) hendak memotret pandangan guru mengenai 21st century learning alias belajar di abad 21 (selanjutnya saya singkat "21-CL"). Menurut guru, apa yang penting dipelajari atau dikuasai oleh siswa di abad ke-21? Untuk membantu menjawab pertanyaan ini, mereka perlu merumuskan apa itu 21-CL terlebih dahulu. Rumusan tersebut diperoleh dari sintesis atas 15 dokumen kunci karya peneliti terkemuka (Howard Gardner, Yong Zhao), penulis populer (Daniel Pink), organisasi pendidikan (Partnership for 21st Century Skills, Center for Public Education), dan lembaga internasional (OECD, Uni Eropa).

Ada tiga kategori jenis pengetahuan yang menjadi benang merah dokumen-dokumen tersebut, sekaligus menjadi rumusan dari 21-CL:

1. Foundational knowledge: Pengetahuan yang menjadi landasan bagi keterampilan abad 21. Ini mencakup pengetahuan disipliner, pengetahuan lintas-disiplin, dan pengetahuan tentang dunia digital atau teknologi informasi-komunikasi.

2. Meta-knowledge: Pengetahuan tentang pengetahuan, alias pengetahuan tentang cara mengelola, mengevaluasi, dan menghasilkan pengetahuan. Ini mencakup kreativitas dan inovasi, berpikir kritis dan penyelesaian masalah, serta kolaborasi dan komunikasi.

3. Humanistic knowledge: Pengetahuan tentang konteks sosial-budaya. Ini mencakup hal-hal seperti keterampilan hidup, keterampilan kerja, pengetahuan emosional, pengetahuan tentang etika, dan kompetensi kultural. 

Mengapa hanya fokus pada pengetahuan?
Membaca kerangka konseptual 21-CL ini, mungkin ada yang heran: kok cuma bicara tentang pengetahuan? Kok hanya ranah kognitif? Dengan adanya Google dan internet, bukankah pengetahuan sudah menjadi barang usang?

Pandangan skeptis semacam ini memang semakin sering terdengar, sehingga Mishra dan Mehta (2017) pun merasa perlu menanggapi secara eksplisit. Intinya, dalam pemahaman ilmu kognitif kontemporer, "pengetahuan" atau knowledge sebenarnya mencakup informasi faktual-konseptual (knowledge about), sekaligus prosedural (knowing how to act) dan kontekstual (knowing when and where to act). Dengan demikian, kerangka 21-CL di atas sebenarnya tidak melulu berbicara tentang pengetahuan dalam pengertian awam (informasi faktual-konspeptual).

Menurut saya, penggunaan istilah knowledge untuk menggambarkan kategori ke-2 dan ke-3 dalam kerangka 21-CL di atas memang kurang pas. Meski didefinisikan secara luas, istilah knowledge tetap tidak mencakup tata-nilai (values) dan sifat (disposisi). Saya kira akan lebih jelas jika istilah knowledge diganti dengan competence, sehingga kategori ke-2 menjadi meta-level competences dan kategori ke-3 menjadi humanistic competences. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa kedua kategori tersebut mencakup pengetahuan sekaligus nilai-nilai dan disposisi.

Kategori 21-CL mana yang dianggap paling penting oleh pendidik?

Mishra dan Mehta (2017) menjaring respondennya secara online, melalui kombinasi email, media sosial (FB, Twitter), dan kontak personal. Yang diundang untuk mengisi survei adalah guru, dosen, dan praktisi pelatihan. Undangan survei direspon 518 orang, 40% di antaranya adalah guru sekolah. Para responden diminta menilai seberapa penting (dalam skala 1 sampai 9) tiap jenis pengetahuan yang ada dalam kerangka 21-CL di atas bagi siswa.

Ternyata keterampilan pemecahan masalah dan berpikir kritis adalah kategori yang mendapat skor tertinggi, disusul oleh keterampilan komunikasi dan kolaborasi pada posisi ke-2, serta kreativitas dan inovasi pada posisi ke-3. Kategori yang dianggap paling tidak penting adalah pengetahuan lintas-disiplin dan pengetahuan disipliner. Perbedaan skor antar kategori yang dianggap penting dan kurang penting tersebut sangat mencolok. Ini menggambarkan konsepsi yang keliru, yakni bahwa kompetensi level-meta seperti berpikir kritis dan problem solving bisa dilakukan tanpa penguasaan pengetahuan yang memadai.

Studi deskriptif kok bisa tembus jurnal internasional? 
Terakhir, saya ingin berkomentar soal metode penelitian ini. Desain survei yang digunakan Mishra dan Mehta (2017) sebenarnya tidak istimewa, bahkan cenderung lemah. Sampelnya tidak dipilih secara acak, sehingga tidak mewakili populasi yang lebih luas dan sulit digeneralisasi. Analisisnya pun murni deskriptif, semata-mata menampilkan gambaran tentang pandangan sekelompok responden.

Kedua fitur metodologis ini (responden "seadanya" hasil convience sampling dan analisis deskriptif) biasanya dipandang sebelah mata oleh peneliti dan akademisi di Indonesia. Jika tak percaya, coba saja ajukan proposal tesis atau disertasi dengan desain survei seperti itu. Untuk level skripsi pun rasanya sulit diterima. Tapi mengapa hasilnya bisa terbit di jurnal internasional? Jawabannya akan terlalu panjang jika dituliskan di sini. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa pandangan meremehkan terhadap studi deskriptif semacam ini sebenarnya keliru. Studi deskriptif dengan sampel non-representatif pun sangat mungkin menghasilkan temuan yang bermanfaat secara akademis!

Tabik dan sampai jumpa dalam tulisan lain!

Sumber gambar: https://www.punyamishra.com/2016/12/13/what-educators-get-wrong-about-21st-century-learning-new-article/

Artikel Mishra dan Mehta: https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/21532974.2016.1242392?src=recsys



No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...