Showing posts with label inteligensi. Show all posts
Showing posts with label inteligensi. Show all posts

Wednesday, December 25, 2013

Pentingnya Mindset yang Tepat tentang Kecerdasan


Update: Hasil penelitian saya tentang peran mindset telah diterbitkan oleh International Journal of Educational Psychology (Vol. 4, No. 2, tahun 2015)

Bayangkan seseorang bernama Antok. Ketika SD, ia tidak begitu pandai di sekolah. Ia dianggap lambat belajar dan nilai-nilai rapornya pun sekedar cukup untuk naik kelas. Ketika ada pengukuran IQ, ternyata memang skor Antok sedikit di bawah rata-rata anak seusianya. Tidak ada guru yang menanggap bahwa Antok adalah anak yang akan punya prestasi akademik bagus di masa mendatang.

Kemudian bayangkan Budi, kawan sekelas Antok. Budi adalah tipikal siswa yang disayang guru karena dianggap mudah memahami pelajaran di kelas. Nilai-nilai rapornya memang bagus, dan ia beberapa kali menjadi juara kelas. Guru-gurunya tidak ragu bahwa Budi akan punya prestasi akademik bagus di masa mendatang.

Nah, bagaimana masa depan akademik Antok menurut Anda? Seberapa mungkin ia, misalnya saja, memperoleh nilai rapor yang di atas rata-rata kelasnya? Atau menjadi juara kelas ketika SMP dan SMA? Atau meningkatkan skor IQ-nya menjadi di atas rata-rata?Atau mendapat beasiswa untuk masuk universitas karena prestasi akademiknya? Sebaliknya, seberapa mungkin Budi menjadi tidak berprestasi ketika SMP dan SMA? Tidak naik kelas, misalnya? Atau gagal menembus tes masuk perguruan tinggi yang ia inginkan?

Friday, December 20, 2013

Apakah Sekolah Meningkatkan Skor IQ?

Flynn Effect di lima negara. Sumber gambar: http://www.highiqpro.com/fluidintelligence/?p=206

Dalam penelitian inteligensi, ada temuan menarik tentang peningkatan skor IQ antar generasi, paling tidak di negara-negara maju yang memiliki data IQ semenjak awal abad 20. Dibandingkan 100 tahun sebelumnya, saat ini norma atau patokan penyekoran IQ telah bergeser sekitar 30 poin. Ini setara dengan 2 simpangan baku.

Apa artinya ini? Sebagai gambaran, bila kita menggunakan norma modern untuk menyekor hasil tes generasi awal abad 20, maka rata-rata skor IQ mereka akan berada pada kisaran 70. Perlu diketahui bahwa dalam norma modern, angka 70 adalah ambang batas retardasi mental. Apakah berarti orang zaman itu memang berinteligensi rendah, bahkan mendekati retardasi mental? Mengapa kemampuan kognitif kita mengalami peningkatan dahsyat dalam kurun waktu sekitar satu abad terakhir? Apakah karena memang otak kita telah menjadi semakin canggih?

Fenomena ini sering disebut sebagai "Flynn effect", mengikuti nama penemunya, James Flynn. Menurut Flynn, penjelasan tentang fenomena ini bukanlah perubahan pada level fisiologis (otak), karena evolusi biologis sulit terjadi dalam kurun waktu sesingkat itu. Penjelasan yang lebih masuk akal adalah semakin canggihnya alat-alat konseptual yang kita gunakan sebagai kerangka berpikir.

Salah satu ciri zaman modern, kata Flynn, adalah kompleksitas kognitifnya. Manusia modern dituntut untuk bisa berpikir abstrak, memanipulasi simbol dan mengecek konsistensi logisnya. Kita dituntut untuk berpikir menggunakan analogi dan berpikir hipotetis ("seandainya X benar, maka ..."). Seabad yang lalu, sebagian besar orang hanya perlu menggunakan pikirannya untuk memanipulasi benda konkret atau dunia empiris.

Untuk menggambarkan perbedaan kemampuan berpikir abstrak-konseptual ini, Flynn bercerita tentang kakeknya, seorang Irlandia yang bermigrasi ke Amerika. Sang kakek, sebagaimana kebanyakan orang kulit putih ketika itu, rasis dan percaya bahwa orang kulit hitam memang bodoh, pantas menjadi budak, tidak boleh sekolah, dll.

Bila sang kakek ditanya: "Bagaimana jika kakek terbangun suatu hari sebagai orang kulit hitam? Bagaimana perasaan kakek? Bukankah kakek akan berpikir sebaliknya?" Jawaban sang kakek: "Itu pertanyaan paling bodoh yang pernah kudengar! Mana ada orang yang tidur kemudian warna kulitnya berubah?" Jawaban ini menandakan bahwa berpikir abstrak adalah hal yang asing bagi si kakek. Ia tidak mampu mengandaikan suatu keadaan yang tidak ada dalam pengalaman empirisnya.

Kalau Flynn benar bahwa peningkatan IQ adalah merupakan efek jangka panjang dari pendidikan, menarik untuk dilihat apakah hal ini terjadi secara universal. Bagaimana dengan di Indonesia? Jangan-jangan skor IQ kita stagnan?

Thursday, May 23, 2013

Kecerdasan bisa Dikembangkan!


Update: Hasil penelitian saya mengenai mindset tentang kecerdasan telah terbit di International Journal of Educational Psychology (Vol. 4, No. 2, tahun 2015)

Bila diminta membayangkan sosok yang cerdas, siapa yang muncul di benak Anda? Banyak orang akan membayangkan ilmuwan terkenal seperti Albert Einstein atau B.J. Habibie, atau kenalan dan saudarayang punya prestasi cemerlang di sekolah. Gambaran ini tidak salah. Kecerdasan memang identik dengan kemampuan intelektual yang tercermin dalam prestasi dibidang ilmu pengetahuan.

Pertanyaannya, apakah kemampuan intelektual bisa berubah? Kita semua pasti pernah punya temanyang dianggap kurang cerdas, yang kerap kesulitan mengikuti pelajaran disekolah. Atau mungkin kita sendiri pernah dianggap sebagai orang dengan kemampuan intelektual yang kurang. Dapatkah orang seperti ini menjadi lebih cerdas melalui usaha dan proses belajar? Bertambah cerdas di sini bukan hanya bertambah pengetahuan, melainkan benar-benar menjadi punya kemampuan intelektual yang lebih daripada sebelumnya.

Sebagian darikita mungkin ragu bahwa siswa yang tadinya terseok-seok mencerna pelajaran, di kemudian hari bisa menjadi “berotak encer” dan bersinar di sekolah. Bukankah kecerdasan itu potensi dasar yang terberi, yang ditentukan sejak lahir? Seseorang bisa saja mempelajari hal-hal baru, tapi kapasitas dasarnya untuk belajar itu sendiri tidak akan banyak berubah. Mungkin Anda merasa bahwa kecerdasan adalah semacam bakat untuk bidang akademik. Dan sebagaimana bakat-bakat bidang lain, kecerdasan adalah potensi yang bisa diolah, namun “volumenya” tidak bertambah. Seseorang dengan kecerdasan pas-pasan perlu usaha lebih keras untuk mencapai prestasi akademik yang baik, dibandingkan seseorang yang memang dari "sononya" sudah cerdas!

Namun apakah asumsi-asumsi ini sejalan dengan hasil penelitian tentang kecerdasan? Untuk menjawabnya, pertama-tama kita perlu menilik dahulu apa yang dimaksud dengan kecerdasan. Dalam ilmu psikologi, istilah yang kerap dikaitkan dengan kecerdasan adalah “inteligensi”. Pada awal abad ke-20, pemerintah Perancis meminta seorang ahli psikologi bernama Alfred Binet membuat tes guna mengidentifikasi siswa yang kemungkinan besar akan mengalami kesulitan mengikuti pelajaran sekolah. Tes buatan Binet ini kemudian disebut sebagai tes inteligensi, dan hasilnya disebut sebagai skor IQ (intelligence quotient).

Setelah Binet, banyak ahli psikologi yang juga mengembangkan tes inteligensi. Pada umumnya, tes-tes inteligensi mengukur kemampuan berpikir secara analitik dengan angka (numerik), kata-kata (verbal), dan/atau visual (ruang dan gambar). Berpikir analitik merujuk pada proses mencari relasi, mengidentifikasi pola, dan menggolong-golongkan objek secara efisien (cepat) dan sistematis. Salah satu cara mengukur kemampuan berpikir analitik adalah memberi seseorang serangkaian bentuk, kemudian memintanya menebak bentuk apa yang secara logis menjadi kelanjutan dari rangkaian tersebut. Cara lain adalah dengan menanyakan kesamaan antara dua konsep, misalnya “pena” dan“pensil”.

Skor IQ memang memprediksi keberhasilan siswa di sekolah. Tampaknya skor IQ juga sulit untuk ditingkatkan secara signifikan. Selain itu, pengaruh faktor keturunan pada skor inteligensi cukup kuat. Kembali ke pertanyaan utama esai ini, apakah berarti kecerdasan kita tidak bisa diubah? Apakah keberhasilan seseorang di sekolah semata-mata masalah “nasib”? Untungnya, jawabannya tidaklah sesuram itu!

Pertama, skor IQ memang memprediksi prestasi sekolah (dan juga prestasi kerja di berbagai bidang), tapi daya prediksinya tidaklah sebesar yang kerap diasumsikan. Untuk prestasi di sekolah, keterampilan belajar seperti cara mencerna bacaan atau kuliah, cara menyiapkan ujian, serta kemampuan menyampaikan gagasan punya andil yang sama atau bahkan lebih besar daripada IQ. Demikian juga untuk prestasi kerja, faktor-faktor seperti seperti kemampuan interpersonal, kemahiran berkomunikasi, dan pengetahuan memiliki sumbangan yang lebih besar daripada IQ.

Kedua, skor IQ hanya mencerminkan bagian kecil dari kecerdasan, yakni aspek kecerdasan yang berguna untuk sekolah. Ahli-ahli kognitif seperti Robert Sternberg dan Keith Stanovich menyatakan bahwa aspek-aspek kecerdasan yang berguna dalam kehidupan justru tidak diukur oleh tes IQ. Stanovich menyebutkan dua keterampilan berpikir yang berguna untuk problem solving di banyak konteks, namun tidak diukur oleh IQ.

Yang pertama adalah kebiasaan mencermati dan mendefinisikan masalah secara menyeluruh dan seksama. Kebanyakan orang, termasuk mereka yang ber-IQ tinggi, kerap terjebak untuk memilih jalan singkat dan cepat untuk menyelesaikan persoalan. Padahal, cara cepat dan singkat itu seringkali tidak optimal. Kecenderungan ini tampak dalam cara orang menyelesaikan problem-problem sederhana seperti ini:

“Dina membeli sepatu dan kaus kaki.Ia membayar $110 untuk kedua hal itu. Harga sepatu $100 lebih mahal daripadakaus kaki. Berapa harga sepatu tersebut?”

Kalau Anda seperti saya dan banyak orang lain, maka jawaban yang terpikir pertama adalah angka $100. Tapi ini keliru. Cobalah pikirkan dengan lebih hati-hati. Poin saya adalah bahwa kekeliruan ini merupakan hasil dari kecenderungan alami manusia untuk tergesa-gesa dalam merumuskan masalah yang dihadapi.

Kedua, aspek kecerdasan yang tidak diukur oleh IQ adalah kemampuan untuk menangguhkan asumsi, preferensi, dan keyakinan personal ketika menghadapi masalah. Kebanyakan orang, termasuk yang ber-IQ sangat tinggi, sering bias dalam mengevaluasi pendapat/situasi dan karena itu kerap mengambil keputusan berdasarkan evaluasi tersebut. Ambil contoh berita yang akhir-akhir marak mengenai korupsi yang melibatkan petinggi sebuah partai politik cukup besar. Banyak simpatisan partai tersebut yang menilai bahwa Komisi PemberantasanKorupsi (KPK) "berlebihan" dalam menyidik yang terlibat, dan lunak pada partai lain yang juga tersandung kasus korupsi. Namun mereka yang bukan simpatisan dapat menilai bahwa KPK sudah bertindak dalam koridor hukum.

Kedua keterampilan berpikir di atas ini tidak berkorelasi (atau berkorelasi lemah) dengan inteligensi (IQ). Berita bagusnya, keduanya dapat dilatih dan ditingkatkan. Dengan demikian, kecerdasan dan prestasi sekolah bukanlah masalah nasib semata!

Referensi:
1. Stanovich, K. E. (2009,Nov/Dec). The thinking that IQ tests miss. Scientific American Mind, 20(6), 34-39.
2. Sternberg, R. (1984). Beyond IQ: A Triarchic Theory of Intelligence. Cambridge: University of Cambridge Press.
x
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...