Showing posts with label konstruktivisme. Show all posts
Showing posts with label konstruktivisme. Show all posts

Wednesday, August 19, 2015

Memutus Lingkaran Setan Nir-literasi


Beberapa waktu yang lalu kementerian pendidikan dan kebudayaan meluncurkan gerakan literasi nasional. Sekolah diminta memberi waktu 15 menit bagi siswa untuk membaca bebas, sebelum jam pelajaran berlangsung. Tapi cukupkah 15 menit? Bagi yang skeptis, hal ini bisa dipandang sebagai gimmick saja. Kebijakan yang manis tapi minim dampak. 

Saya sendiri menaruh harapan pada program ini. Dalam literatur tentang literasi, ada yang disebut sebagai Matthew effect. Intinya, perbedaan kecil dalam kebiasaan dan kemampuan membaca seseorang ketika masih kecil bisa berdampak besar di kemudian hari. 

Wednesday, December 25, 2013

Prinsip Dasar Pembelajaran

Prinsip paling mendasar dalam ilmu pembelajaran amatlah sederhana: pembelajaran adalah buah dari apa yang dilakukan oleh si pembelajar. Atau, dalam kata-kata Hebert Simon, peraih Nobel yang juga pelopor psikologi kognitif: “Learning results from what the student does and thinks, and only from what the student does and thinks.” Prinsip ini begitu sederhana sehingga mudah dianggap angin lalu. Tentu saja proses belajar tergantung pada si pembelajar! Apa yang baru atau mengejutkan tentang pernyataan ini?

Sebenarnya prinsip ini punya konsekuensi radikal pada cara kita memandang tugas seorang guru. Saya akan mencoba meyakinkan Anda melalui sebuah ilustrasi situasi yang kerap kita jumpai di kelas. Pak Budi sedang mengajar tentang konsep yang abstrak. Ia memberi ceramah tentang makna konsep tersebut, diikuti dengan contoh-contoh konkret. Di akhir pelajaran, pak Budi menguji pemahaman beberapa siswa dengan meminta mereka menyarikan definisi dari konsep itu. Ternyata bahwa siswa yang tampaknya menyimak dengan baik pun tidak bisa memberi jawaban yang memuaskan. Karena konsep tersebut penting, pak Budi merasa ia tidak bisa melanjutkan ke materi lain.

Dalam situasi pak Budi, kebanyakan guru (termasuk saya) akan berpikir tentang cara menjelaskan yang lebih mudah dicerna. Mungkin dengan analogi dengan kehidupan sehari-hari. Mungkin dibumbui humor. Mungkin contoh lain yang lebih konkret. Intinya, bila siswa belum paham, solusinya adalah penjelasan yang lebih sistematis, lebih konkret, lebih menyenangkan. Pemikiran seperti ini tentu baik. Namun secara tak sadar, pemikiran ini dilandasi oleh asumsi bahwa pengetahuan bisa kita “transfer” kepada siswa.

Namun justru asumsi intuitif inilah yang digugurkan oleh ilmu pembelajaran. Pemahaman baru tidak bisa ditransfer dari satu kepala ke kepala yang lain. Tidak seperti uang yang bisa ditransfer dari satu rekening ke rekening lain, atau air yang bisa dituang dari satu cawan ke cawan yang lain! Saya kutip lagi frase Herbert Simon, kali ini dengan sedikit penekanan: “Learning results from what the student does and thinks, and ONLY from what the student does and thinks.” Pemahaman baru hanya bisa dibentuk oleh siswa sendiri, melalui apa yang ia lakukan dan pikirkan. Apa pun yang dilakukan guru (memberi caramah, misalnya), hanya berdampak secara tak langsung pada proses belajar siswa.

Dengan demikian, esensi dari pengajaran bukanlah bagaimana cara menyampaikan penjelasan yang baik pada siswa. Persoalan inti pengajaran adalah bagaimana merancang aktivitas yang membuat siswa berpikir secara aktif, sehingga berbuah pada pemahaman baru. Dengan kata lain, prinsip pembelajaran ini mengundang kita untuk beralih dari pandangan “teaching as telling” ke pandangan “teaching as design.” Proses berpikir guru sebagai desainer mirip dengan proses berpikir arsitek yang merancang sebuah bangunan. Perbedaannya adalah, seorang guru harus “menghidupkan” dan memodifikasi sendiri rancangannya di kelas secara real time.

Apakah berarti memberi penjelasan (dengan kata lain, ceramah) yang lebih sistematis, konkret, dan menyenangkan itu percuma? Tidak juga. Ceramah yang baik bisa memicu proses berpikir yang mendalam, sehingga berbuah pada pemahaman baru. Namun biasanya hal ini hanya berlaku pada sebagian kecil siswa, yakni mereka yang sudah terbiasa “menginterogasi” informasi baru yang didengar.

Referensi:
1. National Research Council (2000). How People Learn: Brain, Mind, Experience, and School (Expanded Edition). National Academy Press: Washington.
2. Ambrose, S.A. et. al. (2010. How Learning Works: Seven Research-Based Principles for Smart Teaching. San Fransisco: Jossey-Bass.





Saturday, March 9, 2013

Ceramah (tak selalu) buruk

Ketika pertama kali mengajar, saya termasuk dosen yang mengandalkan ceramah sebagai metode utama. Mungkin karena itulah metode yang paling saya kenal. Lagipula, sebagai siswa, saya merasa bisa belajar banyak dari ceramah yang disampaikan dengan baik. Hakekat mengajar, dalam bayangan saya ketika itu, adalah memahami sesuatu (konsep, informasi) kemudian menyampaikannya dengan jernih kepada mereka yang belum memahaminya.

Karena itu saya berasumsi bahwa ceramah boleh saja digunakan, dengan syarat bahwa si penceramah menguasai materi dan bisa menyajikannya dengan sistematis. Saya pun berusaha untuk memperdalam pemahaman tentang materi ajar, memikirkan contoh-contoh aplikasi, serta merangkai informasi tersebut sebagai presentasi yang menarik.

Semester pertama mengajar saya boleh dikatakan gagal: di akhir semester banyak mahasiswa yang tidak memahami konsep-konsep penting yang saya ajarkan. Saya pun berusaha memperdalam pemahaman saya atas materi ajar. Saya juga mengevaluasi cara penyampaian: barangkali ada urutan penyampaian informasi yang lebih memudahkan siswa menangkap pesan, atau ada gambar, film, atau hal lain yang bisa membuat mahasiswa lebih tertarik. Namun betapa kecewa saya ketika tahu bahwa hasilnya tak jauh beda: banyak mahasiswa yang tidak memahami inti konsep-konsep penting, ataupun menggunakan konsep-konsep itu untuk menganalisis fenomena. Setelah beberapa semester merasa gagal, saya mulai bertanya-tanya, jangan-jangan saya tidak memang berbakat menjadi pengajar?

Sebelum rasa frustrasi berubah menjadi depresi, untunglah saya lantas mendapat beasiswa di Sydney University, Australia, untuk mempelajari ilmu pembelajaran (learning sciences). Prinsip pokok dari ilmu pembelajaran pasti tak asing bagi sebagian besar guru: yakni bahwa belajar adalah proses yang aktif, bahwa pengetahuan tidak bisa ditransfer dari satu kepala ke kepala orang lain. Dan persis di sinilah kesalahan saya sebagai pengajar. Saya berasumsi bahwa pengetahuan dapat ditransfer melalui ceramah. Bahwa efektivitas ceramah bergantung pada seberapa pandai saya mengemas pengetahuan yang akan saya "transfer". Dengan kata lain, berhasil tidaknya ceramah tergantung pada kemahiran pengajar.

Namun bila proses belajar dipahami sebagai proses aktif, maka kita akan melihatnya dengan berbeda. Penentu utama efektivitas ceramah bukanlah guru, melainkan apa yang dilakukan siswa itu sendiri! Sehebat apa pun guru berceramah, semenarik apa pun contoh yang diberikan, selucu apa pun bumbu humor yang diselipkan dalam ceramah, bila siswa tidak berpikir dengan aktif, ia tidak akan mendapatkan pengetahuan baru.

Apakah berarti ceramah tak bisa efektif? Tidak juga. Mendengarkan ceramah tidak identik dengan kepasifan. Sebagian siswa mendengarkan ceramah sambil berpikir keras. Mereka memproses informasi secara mendalam, memikirkan contoh konkret dari konsep yang baru didengar, serta mengaitkan konsep tersebut dengan konsep-konsep yang mereka pelajari di kelas lain. Tak hanya itu, siswa-siswa ini juga memonitor proses kognitif mereka sendiri. Melalui aktivitas metakognitif ini mereka menyadari apa yang mereka pahami, dan juga apa yang masih membingungkan. Dengan demikian, mereka tahu kapan perlu bertanya dan mencari informasi lebih lanjut.

Bagi siswa-siswa seperti ini, ceramah memang metode yang efektif untuk belajar. Persoalannya adalah, seberapa banyak siswa yang secara otomatis memproses informasi secara mendalam ketika mendengar ceramah? Dari pengalaman, rasanya tidak banyak. Jadi, biasanya ceramah hanya efektif untuk sebagian kecil siswa. Untuk sebagian besar siswa, ceramah tidak memicu proses berpikir yang produktif. Mereka memerlukan metode pengajaran yang lebih student-centred (berpusat pada siswa), yang "memaksa" mereka untuk berpikir. Metode pengajaran yang student-centred, bila dijalankan dengan baik, dapat membuat siswa yang biasaya pasif menjadi aktif berpikir.

Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan satu hal: bahwa guru yang pandai berceramah biasanya membuat siswa MERASA mengerti. Mereka mengangguk-anggukkan kepala mendengar contoh-contoh yang menarik, tertawa mendengar guyonan-guyonan yang dilontarkan. Bahayanya adalah, perasaan mengerti ini seringkali hanyalah ilusi. Ada perbedaan mendasar antara mengerti informasi yang kita dengar, dan kemampuan menggunakan informasi tersebut untuk melakukan kerja intelektual seperti menjelaskan dan menganalisis fenomena. Pencampuran keduanya oleh siswa disebut sebagai "illusion of understanding".

Bila siswanya mengalami illusion of understanding, guru yang pandai berceramah rentan mengalami "illusion of successful teaching"! Merasa berhasil, padahal bila siswa diminta untuk menggunakan konsep untuk menganalisis kasus atau fenomena baru, hanya sebagian kecil yang bisa. Seberapa sering Anda mengalami ilusi ini?

Referensi: Chi, M.T.H., Bassok, M., Lewis, M.W., Reimann, P., & Glaser, R. (1989). Self explanations: How students study and use examples in learning to solve problems. Cognitive Science, 13(2), 145-182.

Saturday, February 23, 2013

Belajar tentang Bentuk Bumi: Pengaruh Pengetahuan Intuitif



Sumber: Siegal, Nobes, & Panagiotaki (2011). http://www.nature.com/ngeo/journal/v4/n3/full/ngeo1094.html

Kita kerap berasumsi bahwa siswa tak punya ide atau pengetahuan mengenai topik-topik yang akan mereka pelajari di sekolah. Pikiran siswa kita anggap sebagai kertas kosong yang bisa ditulisi dengan informasi yang akan mereka dapatkan dari guru dan buku-buku. Namun asumsi ini tak sepenuhnya benar. Dari pengalaman sehari-hari mereka, siswa seringkali memiliki ide tentang tentang lingkungan fisik maupun sosial. Yang penting bagi guru, ide-ide ini berpengaruh pada proses belajar-mengajar!

Ilustrasi tentang pentingnya pengetahuan intuitif siswa bisa kita baca dari penelitian Stella Vosniadou, seorang ahli psikologi kognitif, mengenai pemahaman siswa tentang bentuk bumi. Mungkin anda bertanya-tanya, bukankah bentuk bumi adalah pengetahuan yang amat sederhana dan karena itu mudah diajarkan? Kalau ada yang belum tahu tentang bentuk bumi, cukup katakan saja bahwa bumi itu seperti bola! Justru inilah yang menarik dari penelitian Vosniadou: ia menunjukkan bahwa untuk hal sesederhana bentuk bumi, proses belajar siswa ternyata cukup kompleks.

Dalam penelitiannya, Vosniadou (1992) mewawancara siswa kelas satu, tiga dan lima sekolah dasar tentang bentuk bumi. Vosniadou tidak hanya mengajukan pertanyaan “Seperti apa bentuk bumi,” yang akan mudah dijawab dengan jawaban standar mereka hafalkan dari lingkungannya (yakni bahwa bumi itu bulat). Ia melanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggali lebih dalam pemahaman siswa, misalnya, “Kalau ada orang berjalan lurus ke depan terus-menerus, dia akan sampai di mana?”, dan “Apakah bumi punya ujung atau tepi?” Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan lanjutan seperti ini, siswa perlu menggunakan pemahaman konseptual mereka tentang bentuk bumi. Vosniadou juga meminta siswa untuk menggambar bumi, kemudian menggambar posisi langit, bintang dan bulan, serta tempat tinggal manusia.

Seperti bisa diduga, hampir semua siswa menjawab bahwa bumi itu bulat atau seperti bola. Mereka juga menggambar bumi sebagai lingkaran. Namun ketika diminta menguraikan, ternyata muncul jawaban-jawaban yang menunjukkan bahwa pemahaman mereka tentang bentuk bumi tidak sepenuhnya sepadan dengan pemahaman ilmiah. Berikut contoh dialog dengan seorang siswa kelas 1:

Peneliti : Kalau kamu berjalan terus mengikuti garis lurus, nantinya akan sampai di mana?
Siswa : Sampai di kota lain.
Peneliti : Kalau berjalan terus?
Siswa : Ya ke kota-kota yang berbeda, terus negara lain. Kalau kamu jalan di sini dan terus berjalan (sambil menunjuk ke pinggir lingkaran yang ia gambar sebagai bumi), kamu akan keluar dari bumi.
Peneliti : Keluar dari bumi?
Siswa : Ya. Di pinggir bumi kamu harus hati-hati.
Peneliti : Karena bisa jatuh dari bumi?
Siswa : Ya, kalau kamu bermain-main di pinggirnya.
Peneliti : Jatuh ke mana?
Siswa : ... ke planet lain.

Bagi siswa dalam dialog di atas, bumi lebih mirip cakram datar yang memiliki pinggir. Pemahaman seperti ini juga tampak pada siswa lain yang menempatkan bintang, bulan dan langit hanya pada bagian “atas” lingkaran yang mereka gambar. Vosniadou juga menemukan model pemahaman selain bumi sebagai cakram. Misalnya, ada siswa yang memahami bumi seperti bola yang separuh kosong, yang di dalamnya ada bidang datar yang dipijak oleh manusia. Ada pula yang memahami bumi seperti bola yang ditekan sehingga bagian “atasnya” menjadi datar. Sekitar separuh dari siswa kelas 3 dan 5 yang tampaknya sudah memahami bumi sebagai bola.

Mengapa banyak siswa yang memiliki pemahaman keliru tentang hal sesederhana bentuk bumi? Hasil penelitian Vosniadou ini mengilustrasikan proses belajar: bahwa proses membentuk pengetahuan baru selalu disetir oleh pengetahuan yang sudah dimiliki. Dalam hal ini, dari pengalaman sehari-hari, anak (dan kita semua) merasakan bumi yang kita pijak sebagai dataran. Ketika diberitahu bahwa bumi itu bulat, maka anak perlu memahaminya dalam kerangka pengetahuan yang sudah dimiliki, yakni bahwa bumi itu datar. Proses ini menghasilkan pemahaman yang menggabungkan pengetahuan awal dan pengetahuan baru, seperti model bumi sebagai cakram, atau bumi yang berongga.

Dengan kata lain, proses belajar tidak seperti menulis di kertas yang kosong, atau sekedar membangun pengetahuan baru. Untuk membangun pengetahuan baru, kadang kita perlu membongkar pengetahuan lama. (Anindito Aditomo, 23 Februari 2013)

Sumber bacaan:
Vosniadou, S. (2007). Conceptual change and education. Human Development, 50, hal. 40-47.
Vosniadou, S. & Brewer, W.F. (1992). Mental models of the earth: a study of conceptual change in childhood. Cognitive Psychology, 24, hal. 535-585.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...