Showing posts with label ujian nasional. Show all posts
Showing posts with label ujian nasional. Show all posts

Friday, August 21, 2015

Guru yang Patah Arang


Dalam sebuah esai, Rosa Nam, seorang guru bahasa Inggris SMA di Houston, Amerika, berkisah tentang mengapa ia memilih berhenti mengajar. Esai sungguh jujur dan "nendang". Mengajar, menurut Rosa, bisa membuat orang sakit jiwa. 

Pertanyaannya tentu, mengapa ada guru yang frustrasi, patah arang, dan memilih mencari profesi lain? Dan apa solusinya? Sebagian akan mencari jawabannya pada guru sebagai individu. Guru harus diperkuat mentalnya. Dibekali dengan teknik manajemen kelas yang lebih ampuh. Dilatih supaya menguasai metode belajar yang lebih menarik. Dan seterusnya.

Saturday, April 18, 2015

Ujian dan Kemampuan Bernalar

Sabtu pagi mencari bahan untuk mahasiswa bimbingan, malah nemu artikel tentang dampak ujian terstandar pada hasil belajar dan motivasi siswa. Riset tentang hal itu sudah banyak, tapi yang ini istimewa dari segi kualitas metode. Para penelitinya menganalisis data longitudinal pada sampel yang mewakili seluruh siswa di Jerman. Para siswa dites literasi/penalaran matematika dan penguasaan materi kurikulum di kelas 9, dan diulang lagi di kelas 10. Mereka juga diminta melaporkan motivasi dan pengalaman emosionalnya terkait sekolah. 

Pada saat data dikumpulkan, sebagian negara bagian di Jerman menetapkan ujian akhir yang terstandar ("central exit exam"), sebagian lagi tidak. Dengan demikian, para peneliti dapat membandingkan pengaruh ujian akhir pada hasil belajar, baik yang kognitif maupun motivasional. 


Monday, April 22, 2013

Ujian Nasional dan Hakekat Pendidikan

Misalkan ada momok di sekolah yang membuat anak Anda cemas berkepanjangan, malas berpikir mendalam tentang banyak mata pelajaran, enggan membaca buku-buku yang meluaskan wawasannya, dan tak punya waktu untuk mempelajari apa yang ia minati, apa yang akan Anda lakukan? Yang paling mudah tentu berharap hal ini hanyalah sebuah perumpamaan. Sayang seribu sayang, momok tersebut sungguh nyata. Ia hadir dalam bentuk hajat tahunan bangsa ini: Ujian Nasional.

Anda yang membaca koran dan melihat TV pasti sudah mahfum bahwa runyamnya pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tahun ini telah menggegerkan seantero negeri. Distribusi soal yang amburadul membuat belasan provinsi menunda ujian. Jumlah lembar soal yang kurang membuat sebagian siswa terpaksa menggunakan lembar soal hasil fotokopi. Di beberapa daerah, rumitnya sistem paket ujian mengakibatkan tertukarnya lembar soal. Muncul pula isu jual beli kunci ujian – meski hal ini lebih banyak dibicarakan di bawah radar, melalui bisik-bisik antar guru dan keluh kesah di media sosial. Inkompetensi pemerintah dalam pelaksaan UN ini membuat banyak orang marah. Sebagian mendesak menteri pendidikan untuk mundur, sebagian lagi menduga ada korupsi dalam tender pencetakan soal dan kebocoran ujian.

UN Sebagai Asesmen Pendidikan 

Di tengah kehebohan ini, ada baiknya kita berpikir lebih mendasar tentang UN. Andaikan UN dilaksanakan dengan profesional, dan andaikan semua yang terlibat bisa dibuat jujur sehingga tidak ada kebocoran soal, apakah UN sebaiknya diselenggarakan secara rutin di kelas 6, 9 dan 12 seperti saat ini? Jawabannya tidak. Sistem UN yang sekarang diterapkan – sesempurna apapun teknis pelaksanaannya – telah dan akan terus merusak pendidikan.

Untuk memahami mengapa UN justru merusak, kita perlu menengok kedudukannya sebagai sistem asesmen. Berdasar fungsinya, asesmen bisa dibagi menjadi dua: asesmen formatif yang membantu proses belajar, dan asesmen sumatif untuk mengevaluasi hasil belajar. Mudah diduga, UN tergolong asesmen sumatif. Hasilnya (seharusnya) digunakan oleh pemerintah guna memetakan kualitas sekolah, dan oleh stakeholder lain yang akan menggunakan lulusan sekolah (seperti perusahaan yang mencari tenaga kerja atau panitia seleksi perguruan tinggi).

Poin pentingnya, UN memang tidak dirancang untuk memperbaiki proses belajar-mengajar di kelas. Luaran UN hanya berupa angka, tanpa deskripsi pemahaman dan kesalahpahaman siswa. Ujian juga diselenggarakan di akhir tahun ajaran, sehingga tak memungkinkan guru memperbaiki cara pengajarannya. UN bisa dianggap sebagai ukuran kasar dari tingkat pemahaman siswa tentang beberapa mata pelajaran di sekolah. Dan karena terstandar, hasilnya bisa digunakan untuk pemetaan, untuk membandingkan kualitas sekolah secara kasar. Tapi ia tidak bisa digunakan secara langsung untuk memperbaiki kualitas proses pembelajaran.

Dengan kata lain, pemetaan dan peningkatan kualitas pendidikan adalah dua hal yang harus dipisahkan. Pemetaan dengan data UN bisa digunakan sebagai informasi untuk perbaikan kualitas. Namun perbaikan kualitas itu sendiri harus dicapai melalui faktor lain seperti kompetensi guru dan iklim akademik sekolah.

Efek Samping High-stakes Test

Para pendukung UN mungkin akan menyangkal: bukankah UN membuat guru mengajar lebih serius dan memotivasi siswa untuk belajar? Sepintas argumen ini masuk akal, tapi mari kita dicermati. Benarkah UN membuat siswa bergairah belajar, memuaskan rasa ingin tahu, dan meluaskan wawasan? Apakah UN mendorong guru menjadi inovatif dalam mengajar, untuk mengembangkan kemampuan siswa berpikir analitik dan kreatif?

Atau sebaliknya, jangan-jangan yang dilecut oleh UN adalah ketakutan akan ketidaklulusan? Jangan-jangan guru justru melihat UN sebagai momok yang memaksa mereka hanya mengajarkan materi yang akan diujikan? Sayangnya, kemungkinan kedua inilah yang terjadi. Tak perlu menjadi ahli pendidikan untuk melihat gejala-gejalanya: lihat saja betapa maraknya lembaga bimbingan belajar, dramatisnya doa-doa bersama, beragamnya upaya klenik untuk meningkatkan nilai, banyaknya siswa yang stres menghadapi UN, dan berbagai cerita kebocoran kunci jawaban.

Semua ini terkait dengan sifat UN sebagai asesmen dengan pertaruhan besar (high-stakes). Nilai UN menentukan persepsi atas kompetensi guru, yang pada gilirannya menentukan jumlah dan kualitas siswa yang memilih sekolah tersebut. Bagi siswa, nilai UN menentukan tidak saja kelulusan, tapi juga kemungkinan masuk sekolah dan universitas favorit. Bagi banyak siswa – terutama dari keluarga miskin – kegagalan UN akan menutup kesempatan untuk memperbaiki keadaan ekonomi keluarga. Singkat kata, yang dipertaruhkan dalam UN adalah masa depan itu sendiri!

Dengan demikian, respon-respon negatif terhadap high-stakes test tidaklah mengejutkan. Penjelasannya sederhana: bila pertaruhannya begitu besar, siswa dan guru yang merasa tidak mampu untuk memenuhi standar yang ditetapkan akan menempuh segala cara untuk lulus. Dan banyak hal berkonspirasi untuk membuat banyak siswa merasa tak mampu lulus: mulai dari infrastruktur fisik yang tak layak, latar belakang sosial ekonomi, dan rendahnya kompetensi banyak guru. Sekali lagi, sesungguhnya tidak mengherankan bila banyak yang berpaling pada cara-cara praktis, mistik, dan bahkan ilegal untuk meningkatkan nilai UN.

Hakekat Pendidikan

Tapi bagaimana jika pemerintah bisa membuat semua orang jujur sehingga tidak ada kecurangan sedikit pun dalam UN? Paling tidak, bukankah ini akan memaksa siswa untuk mempelajari materi yang diujikan? Memang betul. Tapi bukan ini hakekat pendidikan. Tujuan utama sekolah bukanlah membuat siswa tahu tentang sekumpulan topik yang ditetapkan oleh pemerintah. Ada hal-hal yang lebih penting daripada itu.

Yang pertama dan sudah kerap disebut adalah kemampuan untuk belajar sepanjang hayat. Ini mencakup kecakapan untuk mendeteksi keterbatasan pengetahuan diri sendiri, untuk mencari dan mensintesis informasi baru, dan untuk memotivasi diri untuk melakukannya. Yang kedua, dan yang masih jarang disinggung, terkait dengan nilai-nilai intelektual seperti apresiasi akan ilmu, penghargaan akan proses merumuskan pertanyaan dan mencari jawaban secara sistematis, kekaguman terhadap buah pemikiran cerdik cendekia kontemporer ataupun yang hidup di masa lalu, kepuasan yang spontan terasa ketika mata batin terbuka untuk memahami hal baru.

Bagi saya, kedua hal ini lebih dekat pada hakekat pendidikan: pendewasaan personal serta pencerahan pikiran dan hati melalui ilmu pengetahuan. Dan pengembangan nilai-nilai intelektual ini adalah tugas unik yang diemban sekolah: tak ada institusi sosial lain yang bisa atau bertugas melakukannya. Bila ini yang kita kehendaki bersama, maka momok bernama UN harus dihapus.

(Keterangan: pertama dipublikasikan di http://jakartabeat.net/kolom/konten/ujian-nasional-dan-hakikat-pendidikan)

Saturday, July 2, 2011

Ujian Nasional and School-Sanctioned Cheating: Beyond the Moral Outcry



Kartun Mice tentang Generasi Ujian Nasional

Remember Ny. Siami? In this age of information avalanche, the school-sanctioned cheatings that made national news several weeks ago have receded into the distant past.

Ny. Siami is the brave whistle-blower in one of these cases, where her son, a high achieving student in a public elementary school in Surabaya, was told by teachers to “share” answers with his classmates. This case has garnered widespread attention, mainly because it opened a new, disturbing dimension: that many parents seemed to not only tacitly tolerate, but openly support cheating as a way to pass the Ujian Nasional.

Most of the reporting and commentary has portrayed this case as a moral issue, an issue of honesty versus dishonesty. But this overlooks another, more important issue: educational (in)equity. This is an issue that has more to do with social structure and the educational system, than with particular individual’s morality, or lack thereof.

It is easy to understand why the case in Surabaya is viewed almost exclusively from a moral lens. The almost violent hostility of many parents towards Ny. Siami was shocking and prompted a moral outcry. There is also a compelling narrative of good, embodied by Ny. Siami and her son, versus evil, embodied by the perpetrating teacher(s) and parents. This is a narrative that fits well with the social agenda of fighting corruption in the wider community.

However, it is all too easy for middle/upper-class people (from whom, I suspect, most of the outcry has come) to assume the higher moral ground. The middle-class, myself included, tends to see educational achievement mainly as a matter of individual will, effort, and ability. Lazy students deserve low marks, while the diligent ones should be rewarded with higher marks. Teachers should strive to help their students pass exams through motivation and instruction.

But there is strong evidence that show academic achievement is also influenced by where one sits in the socio-economic hierarchy. Two students may have similar academic ability and motivation, but if they come from families with different socio-economic levels, then the poor student will be less likely to excel at school.

There are several explanations to this. The more obvious one is simply that students from poor families face more economic pressure and hence have less time and resources to study at home. The less obvious explanation is that students from poorer families hear, read about, and use far fewer academic vocabularies. They also don’t have much opportunity to engage in important cognitive skills, such as offering criticisms, considering multiple perspectives, and evaluating evidence. Consequently, teachers and schools that cater for poorer communities also face a much harder task of teaching.

And herein lies the issue of equity: students from low socio-economic families are far more likely to obtain low scores in, and risk failing, the Ujian Nasional. This becomes more problematic because the educational system and society at larger currently places too much premium on standardized scores.

Parents and other stakeholders are rarely, if ever, provided with narrative and specific descriptions of students’ progress in specific content areas. Achievements in sport, arts, or various hobbies are considered to be “extracurricular” or outside of the academic domain. Exam scores are virtually the only indicator of academic achievement that matters. Hence, even if graduation is not determined solely by the Ujian Nasional, it nevertheless imposes considerable stress, especially for poorer students and their parents and teachers.

This should help us understand why some teachers in lower income schools are tempted to organise mass-cheatings, and why some parents in the Surabaya case became so hostile towards Ny. Siami. These parents have few ideas on how to help their children excel academically. For them, cheating may have been perceived as the safest, and perhaps only way to guarantee that their children passed the high-stakes exam. And they are probably well aware that failing at school can deny their children the chance of climbing the socio-economic ladder.

Faced with the option of risking your child's future and endorsing cheating, would you take the higher moral ground? I don't know if I would.

Of course, at one level, cases of school-sanctioned cheating need to be dealt with as a moral issue. Understanding why people cheat does not mean permitting it. The perpetrators need to be punished, while Ny. Siami and other whistle-blowers who have sought to uphold honesty need to be protected and rewarded.

And the administration of the Ujian Nasional should be made more “cheat-proof”. But seeing school-sanctioned cheating exclusively from a moral lens focuses attention on individuals (“para oknum”, as we often call them). As if the problem lies in unique cases moral corruption, and hence can be addressed simply by punishing or educating those individuals. This avoids the more difficult task of addressing educational inequity.

With regards to the current cases of school-sanctioned cheating, the question is: how can we reform the Ujian Nasional system so that it can become an instrument of learning, rather than a motivator for cheating?
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...